Mencari Pemimpin Memahami Arti Kalwedo

Tulisan dengan thema besar ini pernah saya bicarakan dengan beberapa rekan yang telah duduk sebagai wakil rakyat di Maluku Barat Daya. Bahwasanya, Bumi Kalwedo ini harus dibangun dengan vondasi utamanya adalah Kultur dan Budaya yang dilihat hari ini dalam bentuk simbol Kalwedo itu. Mengapa, karena sebelum negara ini hadir, leluhur kita membangun peradaban itu hanya dengan mengandalkan kehidupan berbudaya tidak dengan lainnya. Simbol besar kita Pancasila saja hadir setelah tatanan ini sudah dibentuk para leluhur. Karena itu, jika pemimpin salah memahami arti kalwedo itu dalam ruang kebijakan politik, sama artinya memperuncing/memperbesar sentimen kelompok dan lainnya.

Kita harus belajar dari Provinsi Papua Barat atau Papua yang mampu melakukan terobosan politik menghadirkan satu lembaga yang namanya Majelis Rakyat Papua (MRP). Lembaga ini adalah representasi kultural orang Papua yang mampu menjaga dan melindungi tatanan kehidupan orang disana. Hal ini saya bicarakan bukan karena mereka memiliki otonomi khusus kemudian lembaga itu hadir, tetapi niat dan pikiran mereka untuk menjaga kekuatan kultural itu ada dan mereka lakukan itu. Mengapa Maluku Barat Daya tidak bisa lakukan itu? Apakah daerah kita harus memiliki otonomi khusus baru hal itu terwujud? Tentu tidak. Semua ini sangat tergantung bagaimana pemimpin itu sendiri. Bagi saya sangat mungkin itu dilakukan.

Oleh. Freni Lutruntuhluy, S.Pd*)

Saya secara pribadi belum melihat para elit dan politisi kita berbicara kearah sana. Mereka masih terpola dengan model/gaya berpolitik yang biasanya, alias mempesona dimana-mana yang mengatur kekuatan “balas dendam” dan kemudian mendapat keuntungan. Model ini menurutku hanya akan mebuahkan generasi yang ikut mengikis atau bahkan merusak peradaban kultural Maluku Barat Daya.

Dipertengahan hingga akhir tahun 2020 ini kita pasti lebih sering disuguhkan dengan berita-berita menarik soal politik itu, karena tepat pada agenda pergantian kepala daerah. Banyak elit politik dan pegiatnya ikut bertebaran dan menebar pesona bahkan berpotensi banyak hal masuk ke ranah hukum jika akhirnya ada yang memilih lajur itu, apakah model ini yang kita inginkan? Tentu tidak.

Saya mengambil thema besar bagaimana kita mampu mendesain makro pembangunan dengan dasar simbol daerah kita Kalwedo itu. Artinya visi dan misi pemimpin kita bisa mengukur sampai dimana kadar Kalwedo itu dalam arah dan kebijakan pembangunan lima tahun mendatang. Maksudnya agar dikemudian hari, kita jangan selalu menggunakan alasan Kalwedo itu hanya untuk menutupi aib yang sudah terjadi. Kalwedo, harusnya bukan sekedar simbol, slogan atau kata/ucapan yang mempersatukan, tetapi harus bisa menyelesaikan masalah pada jalur kulturalnya. Kira-kira pendapat saya begitu.

Pada hari ini, saya juga mengatakan luar biasa kepada generasi milenial kita yang begitu cepat mereka menanggapi apa yang terjadi di jagat maya. Begitulah kira-kira dunia sekarang mengalami pergeseran zaman dengan pendekatan teknologinya. mereka tidak sulit untuk bertemu dan bertatap muka, tetapi sangat rumit menjelaskan alasan dan tujuan apa harus bersama. Mereka masih lupa bahwa komunikasi jalur maya terlalu bersifat konkrit dan tidak tuntas. Tetapi apa yang terjadi di maya kita ikut sadari ternyata memiliki daya dorong yang kuat dan mampu mempengaruhi psikologi komunikasi politik. Yang menjadi persoalan adalah generasi milenial masih sulit memisahkan antara ruang praktis politik dan ruang idealisme. Semoga ini tidak melunturkan kultur dan budaya Kalwedo kita meski berbeda politik.

Kembali pada thema besar kita soal Mencari Pemimpin Memahami Arti Kalwedo. Kita sangat berharap kepada rakyat, semoga dengan proses politik yang ada, rakyat lebih cerdas, dewasa dan berani mengambil sikap untuk satu kebaikan bagi generasi berikutnya.

Sekilas mengingatkan kita anak-anak yang dibesarkan oleh adat. Dalam sejarah hidup saya, almarhum opa saya Romelus Alerbitu sewaktu masih hidup, dalam banyak pertemuan Ia selalu menjadi orang pertama disuguhkan satu sloki Sopi, Ia kemudian bertutur dalam bahasa adatnya. Setelah selesai, sopi itu kemudian tiba-tiba saja diambil oleh salah satu anak yang berada di sampingnya dan langsung diminum. Pulang dari tempat itu saya kemudian bertanya kepada almarhum, “Apa maksud anak itu mengambil sopi itu dari tangan Opa dan ia menum tadi? Opa kemudian menjawab, “anak itu memahami dan ingin melanjutkan apa yang opa sudah lakukan suatu saat nanti”. Pemahaman ini memiliki arti yang begitu dalam bahwa sebagai orang yang di besarkan dari adat, menjadi satu kewajiban untuk menjaga dan merawat adat itu sendiri.

Kalwedo!

Tinggalkan Balasan