Diduga Penagihan Retribusi Pasar Tiakur Termasuk Kategori Pungli

Tiakur, EXPO MBD

Diduga penagihan retribusi di pasar rakyat Tiakur termasuk kategori pungutan liar (Pungli). Sebab penagihan retribusi pasar baik itu kios maupun los atau lapak, yang dilakukan oleh pihak pemerintah daerah dalam hal ini Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) kabupaten Maluku Barat Daya (MBD). Tidak dilakukan berdasarkan ketentuan dan aturan yang berlaku.

Hal ini disampaikan Yesry Lolopaly, SH ketua Fraksi Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) saat diwawancarai di kediamannya di Tiakur, rabu (29/07). Sebab pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah, tidak didukung oleh pemberian izin yang wajib diberikan dan dimiliki pedagang.

Menurut Yesry begitu sapaan akrab anggota DPRD asal pulau Wetar ini. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 08 Tahun 2014 tentang pengelolaan pasar. Mengharuskan para pedagang kios wajib memiliki Surat Izin Tempat Usaha (SITU), dan Kartu Bukti Pedagang (KBP). Sedangkan para pedagang los atau lapak harus memiliki SITU dan Kartu Identitas Pedagang (KIP).

Dikatakan Yesry DPRD asal partai Demokrat, Perda Nomor 08 Tahun 2014 ini menegaskan bahwa para pedagang yang tidak memiliki izin dimaksud, maka akan dikenakan sanksi pidana kurungan 3 (tiga) bulan dan denda sebesar kurang lebih Rp. 50 juta. Menjadi catatan kritis juga bagi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), untuk melakukan perannya dalam penegakan produk hukum daerah.

Dengan kondisi yang terjadi sekarang bahwa para pedagang di pasar Tiakur tidak memiliki SITU, KBP dan KIP. “Maka diduga ada uang rakyat yang tercecer. Salah satu faktor pemicu terjadinya kericuhan di pasar Tiakur juga” pasalnya.

Sejauh ini sebagai kewajiban prosedur yang harus diikuti oleh para pedagang untuk mendapatkan kios maupun los atau lapak tidak berjalan baik. Para pedagang baik kios dan los atau lapak selayaknya lebih didahulukan untuk menggunakan pasar mengabaikan aturan yang berlaku. Tanpa harus melewati mekanisme yang diatur dalam produk hukum daerah, tandasnya.

Dimana sebelum menempati kios dan los atau lapak, harus diawali dengan usulan permohonan dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK), KTP dan pas foto. Ditambah juga pedagang kios harus memiliki SITU dan KBP, sedangkan pedagang los atau lapak harus memiliki SITU dan KIP. Ini sebuah kesalahan dalam penerapan prosedur hukum yang keliru, tegasnya.

Dalam beberapa agenda rapat dengar pendapat Komisi B DPRD kabupaten MBD bersama dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM kabupaten MBD. Bukan hanya sekali saja tetapi sudah berulang memberikan pertanyaan dan meminta klarifikasi, terkait bukti identitas dan kepemilikan para pedagang yang menggunakan kios dan los atau lapak, ungkapnya.

Ternyata jawabannya simpel dan terkesan biasa saja. “Hanya sebatas nanti dan akan didatakan kembali, akan ditertibkan kembali administrasi. Akan mengarahkan para pedagang melakukan pengurusan SITU, kemudian balik untuk mengurus KBP dan KIP. Janji tinggal janji semuanya semu, hanya ungkapan dan tidak ada realisasi sejauh ini” kesal Yesry mengakhiri. (VQ)

Tinggalkan Balasan