Mengukur Kadar Simbol Kalwedo di Lingkaran Kebijakan Politik

Saya menulis thema ini setelah membuka kembali catatan-catatan saya yang dulu, kala itu wilayah Maluku Barat Daya masih bersama dengan Kabupaten induknya Maluku Tenggara Barat dengan dua slogan besar yaitu Kidabela-Kalwedo. Kidabela menceritakan gugusan pulau-pulau Yamdena dan Selaru sementara Kalwedo menceritakan tentang gugus selatan daya (sebutan waktu itu).

Oleh. Freni Lutruntuhluy, S.Pd*)

Peristiwa politik kemudian membagi dua wilayah ini sebagaimana sebutan Kidabela-Kalwedo itu. Kalwedo dipisahkan secara politik menjadi pemerintahan yang baru dan meninggalkan induknya Kidabela.

Sebagai putera Maluku Barat Daya (Damer-Lakor), setidaknya secara sederhana dapat saya pahami karena kuatnya keinginan memisahkan diri dengan alasan kesejahteraan, maka kedua wilayah ini terpisah dan Simbolik Kalwedo dapat diartikan dalam dimensinya terpisah bersama Kidabela. Logikanya sederhana saja, bahwasanya selain kultur dan budaya dua wilayah ini berbeda, secara prinsip ketatanegaraan untuk  sebuah cita-cita besar kesejahteraan rakyat juga berbeda pula.

Okelah, saya tidak perlu membicarakan banyak hal soal mengapa kedua wilayah ini terpisah, tetapi barangkali ingin sekali saya mengingatkan kepada kita sekalian tentang apa makna dibalik Kalwedo itu dipakai sebagai simbol orang Maluku Barat Daya, sementara (maaf) Kata Kalwedo itu sendiri hanya berada pada beberapa gugus pulau di wilayah selatan daya dan bukan MBD secara menyeluruh. Saya hanya bisa melihatnya barangkali saat itu terlalu cepat para politisi kita ingin sesegeramungkin wilayah ini terbentuk sehingga jangan terlalu lama membahas hal-hal semacam itu. Oke lah bagi saya tidak soal.

Persoalan mendasar kita hari ini adalah, berbicara membangun Maluku Barat Daya dalam dimensi Kalwedo dan artikulasinya di ruang kebijakan publik. Harus kita sadari dan mengakui bahwa aspek sosio-kultural terabaikan selama ini karena kita gagal memahami Kalwedo itu sendiri. Padahal, hakikat lahirnya Maluku Barat Daya bukan sekedar keinginan politik membagi kekuasaan, melainkan ada panggilan leluhur untuk daerah itu. Kita lupa aspek yang satu ini sehingga Maluku Barat Daya hari ini mengalami degradasi yang begitu luar biasa dalam banyak aspek. Etika, moral dan lainnya hancur berkeping-keping hanya karena sebuah kekuasaan politik.

Jika Pemerintahan kita ini cerdas dan menginginkan adanya persatuan, bagi saya kita harus kembali mengurai benang merah Kalwedo itu sendiri. Kita harus bisa memadukan dua simbol besar untuk menata MBD, Pertama adalah Pancasila sebagai Ideologi bangsa dan Kalwedo sebagai Simbol Kultural. Parameternya harus bisa terukur dalam ruang kebijakan publik. Soalnya sekarang adalah kita melupakan hirarky Kalwedo di ruang-ruang kebijakan publik yang berakibat MBD mengalami degradasi nilai sosial dan budaya. Kita lebih cenderung bertarung dengan logika simbol Pancasila daripada mengedepankan asas Kalwedo sebagai simbol kultur dan budaya orang saudara.

Mohon maaf, sebetulnya terlalu banyak yang bisa saya jelaskan bagaimana Simbol kalwedo itu hanya sebatas simbolik saja dan kemudian menjadi alasan kekuasaan untuk mempersatukan perbedaan di Maluku Barat Daya, padahal, jika dipahami secara baik, artikulasinya bisa dalam wujud kebijakan yang menyentuh aspek kehidupan sosial orang Maluku Barat Daya termasuk ekonomi dan lainnya.

Sebagai anak kampung, saya menginginkan lembaga Legislatif harus cerdas dan berfikir inovatif untuk daerah kita. Kita jangan sekali-kali terpesona dengan kekuasaan dan lupa jati diri sebagai manusia yang lahir dari rahim budaya.

Salam Hormat.

 

 

 

Tinggalkan Balasan