Berkerja Ilegal, Insentif Perawat Tidak Sesuai Standart

Tiakur, EXPO MBD

Sejauh ini hadirnya Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) di kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) adalah semata untuk melihat persoalan perawat. Yang mana sesuai dengan regulasinya, insentif yang harus diterima sebulan yakni tiga kali standart Upah Minimum Regional (UMR). Sebagian besar perawat bekerja tanpa Surat Tanda Registrasi Perawat (STRP) dan Surat Izi Praktek Perawat (SIPP) yakni bekerja ilegal.

Hal ini disampaikan ketua DPD PPNI kabupaten MBD, Mathelda Aty Sarak, AMK, SKM, M.Kes ketika ditemui diruang kerjanya di dinas Perpustakaan dan Kearsipan kabupaten MBD, jumat (03/07/2020). Kenyataannya biasa perawat melakukan tugasnya hanya berdasarkan kemanusiaan tanpa legalitas. Karena kondisi tidak menolongpun serba salah. Akhirnya berdasarkan perlindungan hukum, perawat tidak terlindungi.

Menurut Aty begitu sapaan akrabnya, regulasinya yakni Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, Undang-undang Nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan, Undang-undang Nomor 38 tahun 2014 tentang kesehatan keperawatan, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 26 tahun 2011 tentang pelaksanaan praktek keperawatan dan peraturan bupati MBD Nomor 40 tahun 2019 tentang aturan pelaksanaan praktek di MBD.

Dikatakan Aty, semua regulasi sudah membatasi dan melarang perawat melakukan tindakan yang bukan kewenangannya. Secara tegas juga melarang mempekerjakan perawat yang tidak memiliki STRP dan SIPP. Baik yang bekerja pada pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), praktek mandiri maupun di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).

Pasalnya, STRP adalah bukti tertulis yang diberikan kepada perawat yang telah diregistrasi dari organisasi profesi (PPNI). Setelah memiliki STRP perawat wajib memiliki SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada perawat yang akan menjalankan praktik keperawatan secara perseorangan.

Perawat butuh jaminan perlindungan hukum ketika melakukan tugas dan tanggungjawab artinya sangat dibutuhkan legalitas. Sehingga dibutuhkan keberpihakan pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten MBD untuk melihat persoalan ini. Sebab dalam dilema seperti ini yang menjadi korban adalah masyarakat, karena ada ketakutan perawat soal legalitas, ungkapnya.

Karena alasan keterbatasan tenaga sehingga seringkali perawat diharuskan melaksanakan pekerjaan dokter maupun farmasi. Tanpa ada pelimpahan kewenangan secara tertulis, perawat juga melakukan tugas hanya berdasarkan kemanusiaan tanpa legalitas. Karena kondisi tidak menolongpun serba salah, akhirnya berdasarkan perlindungan hukum perawat tidak terlindungi, ujarnya.

Pekerjaan yang demikian banyak dilakukan dan dirangkap oleh perawat selama ini tanpa jaminan kepastian hukumnya, tidak lalu kemudian dihargai dengan insentif yang setimpal pula. Jauh dari sebuah harapan impian dan regulasi, semuanya berbanding terbalik. Insentif perawat kecil dibandingkan dengan dokter dan farmasi, ulasnya.

Insentif yang diperuntukan harusnya berdasarkan profesi bukan berdasarkan status kepegawaian. Sebab perawat bekerjapun berdasarkan profesinya bukan berdasarkan status kepegawaian. Namun sejauh ini insentif yang diberikan hanya berdasarkan status kepegawaian, tuturnya.

Sehingga perawat Aparatur Sipil Negara (ASN) saja yang layak menerima insentif, sedangkan perawat kontrak daerah tidak mendapat insentif. Kalau ASN tetapi bukan perawat tidak dapat melayani pasien dan sebaliknya. Perawat diberikan insentif sebulan sebesar Rp. 1,5 juta, insentif dokter sebesar Rp. 13,5 juta dan insentif farmasi sebesar Rp. 5 juta sebagai pembanding, ucapnya sembari mengakhiri. (VQ)

Tinggalkan Balasan